Beranda | Artikel
Penjelasan Hadis tentang Tata Cara Memandikan Jenazah
Jumat, 25 Agustus 2023

Dari Muhammad bin Sirin, dari Ummu ‘Athiyyah (seorang wanita Anshar) radhiyallahu ‘anha, beliau berkata,

دَخَلَ عَلَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ تُوُفِّيَتِ ابْنَتُهُ، فَقَالَ:

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menemui kami saat kematian putri kami. Lalu beliau bersabda,

اغْسِلْنَهَا ثَلاَثًا، أَوْ خَمْسًا، أَوْ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ إِنْ رَأَيْتُنَّ ذَلِكَ، بِمَاءٍ وَسِدْرٍ، وَاجْعَلْنَ فِي الآخِرَةِ كَافُورًا – أَوْ شَيْئًا مِنْ كَافُورٍ – فَإِذَا فَرَغْتُنَّ فَآذِنَّنِي

‘Mandikanlah dengan mengguyurkan air yang dicampur dengan daun bidara tiga kali, lima kali, atau lebih dari itu jika kalian anggap perlu. Dan jadikanlah yang terakhirnya dengan kafur barus (wewangian) atau yang sejenis. Dan apabila kalian telah selesai, beritahu aku.’

فَلَمَّا فَرَغْنَا آذَنَّاهُ، فَأَعْطَانَا حِقْوَهُ، فَقَالَ: أَشْعِرْنَهَا إِيَّاهُ، تَعْنِي إِزَارَهُ

Ketika telah selesai, kami memberi tahu beliau. Kemudian beliau memberikan kain beliau kepada kami seraya berkata, ‘Pakaikanlah ini kepadanya.’ Yaitu, izar (pakain bagian bawah semacam sarung, pent.) beliau.” (HR. Bukhari no. 1253 dan Muslim no. 36, 939)

Dari Hafshah, dari Ummu ‘Athiyah, beliau berkata,

قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَهُنَّ فِي غَسْلِ ابْنَتِهِ: ابْدَأْنَ بِمَيَامِنِهَا وَمَوَاضِعِ الوُضُوءِ مِنْهَا

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada mereka saat memandikan putrinya, ‘Hendaklah kalian mulai dari yang sebelah kanan dan anggota wudunya.’” (HR. Bukhari no. 167)

Demikian pula dalam lafaz Bukhari disebutkan,

فَضَفَرْنَا شَعَرَهَا ثَلاَثَةَ قُرُونٍ، وَأَلْقَيْنَاهَا خَلْفَهَا

Maka, kami menyisir (dan menguraikan lalu mengepangnya) rambut kepalanya menjadi tiga kepang dan kami letakkan di belakangnya.” (HR. Bukhari no. 1263)

Kedudukan hadis

Hadis ini merupakan hadis pokok yang menjelaskan tentang hukum-hukum terkait tata cara memandikan jenazah. Ibnul Munzir rahimahullah berkata, “Dalam bab memandikan jenazah, tidak ada hadis yang lebih tinggi kedudukannya daripada hadis Ummu ‘Athiyyah.” (Al-Ausath, 5: 333)

Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah berkata, “Sejumlah sahabat dan para ulama tabiin di Basrah dulu mengambil hadis tentang memandikan jenazah dari Ummu ‘Athiyyah.” (Al-Isti’aab, 4: 452)

Kandungan hadis

Dalam hadis-hadis di atas, terdapat beberapa poin yang bisa diambil faedah, yaitu:

Kandungan pertama: Hukum memandikan jenazah

Hadis ini merupakan dalil wajibnya memandikan jenazah. An-Nawawi Asy-Syafi’i rahimahullah mengklaim adanya ijma bahwa hukum memandikan jenazah itu fardhu kifayah (Al-Majmu’, 5: 128). Meskipun demikian, Imam Malik rahimahullah berpendapat bahwa hukumnya sunnah muakkadah (Bidayatul Mujtahid, 2: 9), sebagaimana dikutip dan dikuatkan juga oleh Al-Qurthubi rahimahullah (Al-Mufhim, 2: 592).

Adapun pendapat yang lebih kuat dalam masalah ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama bahwa hukum memandikan jenazah adalah fardhu kifayah. Inilah pendapat yang lebih tepat, tanpa keraguan.

Kandungan kedua: Tata cara memandikan jenazah

Hadis tersebut adalah dalil tentang tata cara memandikan jenazah. Yaitu, dimulai dengan membasuh anggota wudu (tangan dan kaki) yang sebelah kanan terlebih dahulu, kemudian yang sebelah kiri. Setelah itu, membasuh semua anggota badan, dimulai dari yang sebelah kanan, dilanjutkan yang sebelah kiri.

Di tengah-tengah memandikan jenazah, digunakanlah daun sidr (daun bidara) atau bahan lain yang memiliki manfaat yang sama dengan daun bidara, seperti sabun. Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Jika tidak ditemukan daun bidara, maka jenazah dibasuh dengan bahan yang bisa menggantikan fungsinya atau mendekati, seperti al-khitmi (semacam tumbuhan yang banyak manfaat, daunnya bisa ditumbuk, lalu digunakan untuk membasuh dan membersihkan bagian kepala, pent.) dan semacamnya. Hal ini karena maksud dan tujuannya bisa tercapai dengan bahan-bahan itu. Jika tetap menggunakan bahan-bahan pengganti tersebut, meskipun daun bidara juga tersedia, hal itu tetap diperbolehkan. Hal ini karena kita bisa mengetahui maksud dari syariat (dari disebutkannya daun bidara), yaitu untuk lebih membersihkan. Sehingga mencakup semua bahan yang bisa mewujudkan hal tersebut.” (Al-Mughni, 3: 377)

Pembasuhan tersebut bisa diulang beberapa kali sesuai kondisi dan kebutuhan (maslahat). Hal itu dikembalikan kepada pertimbangan orang yang memandikan jenazah. Hal ini berdasarkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,

إِنْ رَأَيْتُنَّ ذَلِكَ

“ … jika kalian anggap perlu … ”

Hal ini karena kondisi jenazah itu bermacam-macam, bisa jadi pada badannya ada banyak kotoran karena sakit kronis berkepanjangan sehingga butuh untuk dibasuh atau digosok beberapa kali. Dan bisa jadi kondisi jenazahnya bersih sehingga tidak butuh diulang berkali-kali.

Sebagian ulama berpendapat bahwa mengulang minimal tiga kali itu wajib berdasarkan zahir hadis di atas. Ini adalah pendapat Zahiriyyah dan Al-Muzanni rahimahumullah. Adapun jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa mengulang tiga kali itu hukumnya sunah (dianjurkan). Adapun yang wajib adalah dibasuh atau diguyur sebanyak satu kali. (Lihat Al-Muhalla, 5: 121; Al-Mughni, 3: 378; dan Al-Majmu’, 5: 173)

Pada basuhan yang terakhir, digunakan kapur barus. Kapur barus ditumbuk (dihaluskan), kemudian dicampur dengan air agar menimbulkan bau harum pada badan jenazah dan juga menghilangkan bau menyengat ketika di liang kubur. Oleh karena itu, penggunaan kapur barus ini diletakkan pada basuhan terakhir agar efeknya tetap terjaga. Kapur barus dipilih dibandingkan wewangian yang lain karena sifatnya yang dingin dan juga keistimewaan-keistimewaan yang lainnya.

Jika jenazah tersebut perempuan, maka rambutnya diikat (dikepang) menjadi tiga bagian, dua bagian ke arah kanan-kiri dan satu bagian di tengah, kemudian diletakkan di bagian belakang kepala. Tujuannya adalah agar air itu bisa maksimal sampai ke kulit dan juga membersihkan rambut dari kotoran yang menempel.

Kandungan ketiga: Jika jenazah tersebut perempuan, siapakah yang memandikannya?

Hadis tersebut dalil bahwa jenazah perempuan itu tidaklah dimandikan, kecuali oleh sesama kaum perempuan.  DIkecualikan dari masalah ini adalah jenazah istri itu boleh dimandikan oleh sang suami. Masalah ini telah kami bahas di tulisan yang lain di tautan berikut ini:

https://muslim.or.id/82405-bolehkah-seorang-suami-memandikan-jenazah-istrinya.html

Kandungan keempat: Berapa orang yang memandikan jenazah?

Hadis ini juga dalil bolehnya saling bekerja sama dalam memandikan jenazah, tidak hanya satu orang saja. Para ulama menyebutkan bahwa yang boleh menghadiri proses memandikan jenazah hanyalah orang-orang yang memandikan jenazah secara langsung dan beberapa orang yang membantunya, misalnya membantu membalik badan jenazah, membantu mengguyurkan air, dan semacam itu. Adapun orang-orang yang hanya menonton, tidak selayaknya melihat atau menghadiri proses memandikan jenazah. Bisa jadi dalam badan jenazah terdapat hal-hal yang tidak sepantasnya dilihat, sehingga kemudian dibicarakan banyak orang karena banyaknya yang melihat proses memandikan jenazahnya.

Demikian pembahasan ini, semoga bermanfaat. Wallahu Ta’ala a’lam.

Baca juga: Hukum Melepaskan Pakaian Jenazah ketika Dimandikan

***

@Rumah Kasongan, 5 Muharram 1445/ 23 Juli 2023

Penulis: M. Saifudin Hakim


Artikel asli: https://muslim.or.id/86623-penjelasan-hadis-tentang-tata-cara-memandikan-jenazah.html